Rabu, 20 Agustus 2008

PEMANTAUAN KEMISKINAN UNTUK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA


1. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perhatian pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pemerintah secara tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS. Target yang ditetapkan pada periode tahun 2000-2004 adalah berkurangnya persentase penduduk miskin, dari 19 % pada tahun 1999 menjadi 14 % pada tahun 2004. Keseriusan pemerintah ini juga terlihat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 124 Tahun 2001 pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Tidak lama setelah itu, pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan .

Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah tersedianya data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Ketersediaan data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan/sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan pada tingkat nasional, tingkat daerah (khususnya daerah kabupaten/kota), maupun tingkat wilayah kecil komunitas. Oleh karena itu kegiatan pemantauan kemiskinan secara berkelanjutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi penanggulangan kemiskinan, baik untuk nasional maupun untuk daerah.

Menurut jenisnya, data kemiskinan biasanya dikategorikan dalam dua jenis, yaitu data makro dan data mikro. Data makro kemiskinan pada dasarnya adalah angka estimasi penduduk miskin untuk tingkat nasional maupun daerah (sampai pada tingkat kabupaten/kota). Data makro kemiskinan ini biasanya digunakan untuk alokasi angaran pengentasan kemiskinan menurut daerah dan untuk perbandingan antar daerah. Namun demikian data makro kemiskinan ini tidak dapat digunakan untuk taget sasaran rumahtangga/keluarga miskin. Untuk target sasaran rumahtangga/keluarga miskin, diperlukan data mikro yang dikumpulkan secara lengkap dari lapangan.

Selama lima tahu terakhir ini, metode pemantauan kemiskinan di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut terutama terjadi pada metode pengukuran yang disesuaikan dengan kepentingan pembangunan di daerah. Sebagaimana diketahui ukuran-ukuran kemiskinan yang ada di Indonesia sekarang ini diperlukan untuk beberapa kepentingan, antara lain untuk perbandingan antar negara, perbandingan antar daerah, dan kepentingan pembangunan di daerah khususnya kabupaten/kota.

Pemantauan kemiskinan di Indonesia pertama kali dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1984 berdasarkan pendekatan pengeluaran/konsumsi untuk kebutuhan dasar (basic needs approach). Sampai dengan tahun 1996, data yang digunakan dalam penghitungan penduduk miskin adalah data modul konsumsi hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan penghitungannya hanya dilakukan sampai tingkat nasional dan propinsi. Selanjutnya sejak tahun 1999, yaitu setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka disamping penghitungan penduduk miskin untuk tingkat nasional dan propinsi, BPS juga telah melakukan penghitungan penduduk miskin untuk tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan data kor (pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari data kor Susenas telah dipergunakan dalam penghitungan DAU sejak tahun anggaran 2002. Hasil penghitungan yang sama berdasarkan data kor Susenas tahun 2003 juga akan dipergunakan dalam penghitungan DAU tahun anggaran 2004.

Perlu diketahui bahwa pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui modul konsumsi Susenas pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat nasional dan propinsi. Walaupun telah dilakukan penghitungan penduduk miskin kabupaten/kota melalui data kor Susenas, tetapi penghitungannya masih dalam konstruksi garis kemiskinan yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi. Permasalahan lain dari pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini adalah bahwa pengukuran tersebut adalah pengukuran makro (data makro), yaitu ukuran berdasarkan sampel rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk keperluan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi rumahtangga/penduduk miskin di lapangan. Bertitik tolak dari permasalahan ini, maka pada tahun 1999 BKKBN melakukan pendataan keluarga secara lengkap dengan menggunakan konsep kesejahteraan keluarga.

Pendekatan BKKBN dalam pengukuran kemiskinan didasarkan pada kriteria keluarga yang dibuat dalam 5 (lima) tahapan, yaitu “keluarga prasejahtera”, “ keluarga sejahtera tahap I”, “keluarga sejahtera tahap II”, “keluarga sejahtera tahap III”, dan “keluarga sejahtera tahap III plus”. Keluarga miskin adalah “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I”. Keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga yang memenuhi lima indikator berikut: 1)anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 2) seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari atau lebih; 3) seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda dirumah, sekolah, bekerja, dan bepergian; 4) bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan; dan 5) bila anak sakit atau pasangan usia subur (PUS) ingin mengikuti keluarga berencana (KB) pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.“Keluarga prasejahtera” adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu kriteria tersebut.

Pendekatan BKKBN ini selanjutnya oleh banyak pihak juga dianggap masih kurang realistik, karena konsep “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I” tersebut sifatnya normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti (nuclear family. Disamping itu, kelima indikator tersebut masih bersifat sentralistik dan seragam, yang belum tentu relevan untuk keadaan dan budaya lokal (lihat Ritonga dan Betke, 2002; Irawan dkk, 2000). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada tahun 2000 BPS juga telah melakukan studi penentuan kriteria penduduk miskin yang bertujuan untuk mencari karakteristik-karakteristik rumahtangga yang dapat dipakai untuk merumuskan suatu kriteria yang dapat dipergunakan dalam mengidentifikasi penduduk/rumahtangga miskin. Dengan menanyakan sejumlah pertanyaan sederhana kepada setiap penduduk/rumahtangga yang ada di suatu wilayah, maka akan dapat diidentifikasi rumahtangga-rumahtangga yang terkategori miskin. Karakteristik-karakteristik rumahtangga miskin tersebut tidak saja dapat dikumpulkan melalui survei tetapi juga melalui pendataan rumahtangga secara lengkap. Berdasarkan studi tersebut diperoleh delapan variabel yang layak dan operasional untuk penentuan rumahtangga miskin di lapangan (BPS, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil atau lebih besar dari 8m2), jenis lantai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air bersih (tidak terlindung atau terlindung), keberadaan jamban (tidak ada atau ada), kepemilikan asset (tidak punya atau punya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak bervariasi dan bervariasi), pembelian pakaian (tidak pernah membeli minimal satu stel pakaian dalam setahun atau pernah), kehadiran dalam kegiatan sosial (tidak pernah hadir atau pernah). Kedelapan variabel tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi penduduk/rumahtangga diantaranya aspek sandang, pangan, perumahan, kepemilikan asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002, kedelapan variabel-variabel tersebut telah ditambahkan pada Susenas Kor, dimana variabel-variabel yang mengacu pada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan diberi skor 1 dan variabel-variabel yang mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan diberi skor 0. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategorikan miskin. Sama halnya dengan pendekatan BKKBN, metode ini juga menunjukan hasil yang kurang realistic karena kedelapan karaktersistik tersebut tidak menggambarkan kondisi dan budaya lokal yang berbeda antar daerah. Untuk daerah-daerah yang sudah tergolong masyarakat industrial/perkotaan, seperti DKI Jakarta, ukuran tersebut mungkin masih relevan tetapi untuk daerah-daerah pedesaan dan daerah-daerah yang masih mengikuti pola-pola tradisional ukuran-ukuran tersebut bisa kurang relevan.

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, beberapa daerah telah mengembangkan sendiri kriteria rumahtangga miskin untuk keperluan target program, misalnya Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi DKI Jakarta, dan Propinsi Jawa Timur. Ketiga propinsi ini melakukan pendataan rumahtangga miskin secara lengkap, dengan mnggunakan karakteristik yang dirancang sendiri di daerah. Namun demikian, kriteria-kriteria tersebut tampaknya juga masih seragam dan sentralistik (pada tingkat propinsi), tidak dikembangkan berdasarkan kondisi akar rumput, dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial, malahan bisa saja mencerminkan ideologi golongan elit.
Seperti kita ketahui bersama, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan tidak lagi dilakukan secara sentralistik, tetapi oleh pemerintah daerah khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Sekarang ini, banyak permintaan data untuk kebijakan dan program pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan ini, BPS perlu mempersiapkan diri dengan suatu paradigma baru, yaitu penyiapan data statistik yang disamping memenuhi kebutuhan sistem statistik nasional juga dapat memenuhi kebutuhan sistem statistik daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.

Berkaitan dengan perubahan yang cepat sehubungan dengan peningkatan otonomi daerah, BPS menyadari bahwa kebutuhan sistim pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, tetapi juga perlu dikembangkan kebutuhan kabupaten/kota terhadap mekanisme pengumpulan data yang berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya diantara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun 2002, BPS bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Sumba Timur, German Technical Agency (GTZ), dan UNICEF telah mengembangkan sistim pemantauan kemiskinan yang spesifik-lokal. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistemik, yaitu pendekatan yang memperhatikan keterkaitan antara kemiskinan dan kelembagaan/organisasi sosial setempat. Hasil akhir dari studi ini diharapkan dapat diselesaikan awal tahun 2003 dan dapat dipakai sebagai pedoman untuk daerah lain dalam pengembangan statistik kemiskinan yang spesifik-lokal. Hasil dari studi ini untuk proses awal dapat dilihat dalam makalah Ritonga dan Betke (2002).

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa pemantauan kemiskinan di Indonesia sekarang ini cukup beragam dan hal tersebut dapat menjadi bahan perdebatan diantara berbagai pihak karena adanya perbedaan konsep kemiskinan dan kegunaan pengukuran kemiskinan tersebut bagi penyelenggaraan pembangunan baik nasional maupun regional, khususnya pemerintahan kabupaten/kota. Oleh karena itu melaalui kesempatan konsultasi regional ini perlu disosialisasikan metode-metode pengukuran yang ada dan berkembang saat ini untuk menambah pengetahuan dan pertimbangan dalam kegiatan kerjanya di daerah, khususnya dalam program pembangunan yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di daerah.

2. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan utama dari makalah ini adalah untuk menjelaskan metode-metode pengukuran yang berkembang di Indonesia, yaitu: 1) pendekatan garis kemiskinan pendapatan, 2) pendekatan garis kemiskinan konsumsi/pengeluaran atau pendekatan kebutuhan dasar (basic needs aproach), 3) pendekatan karakteristik penduduk atau rumahtangga/keluarga miskin, dan 4) pendekatan sistemik yang spesifik-lokal dan sayang budaya. Secara khusus makalah ini mengkaji keterbatasan atau kelebihan pengukuran kemiskinan tersebut untuk program penangulangan kemiskinan baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat kabupaen/kota.


2. Metode Pengukuran Kemiskinan di Indonesia

2.1 Konsep Kemiskinan

Seperti diketahui, pengertian kemiskinan sering menjadi topik perdebatan diantara berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, para donor, dan peneliti lokal sering sekali mempunyai perspektif dan pengertian yang berbeda tentang kriteria kemiskinan. Kendati demikian, pada umumnya sepakat terhadap keterbatasan dari pendekatan pengukuran yang ada sekarang ini, yaitu penghitungan jumlah penduduk miskin oleh BPS dan sistem pendataan keluarga miskin oleh BKKBN pada dasarnya dirancang, dianalisa dan digunakan secara sentralistik. Sampai saat ini pendekatan pemantauan kemiskinan yang mengkaitkan kemiskinan dengan organisasi sosial setempat masih kurang diperhatikan. Secara umum metode pengukuran kemiskinan dikaitkan dengan tiga pendekatan, yaitu berdasarkan: 1) garis kemiskinan pendapatan (income-based poverty line), 2) garis kemiskinan konsumsi (consumption-based poverty line), dan 3) karakteristik penduduk atau rumahtangga miskin. Ketiga pendekatan tersebut dapat dijelaskan seperti berikut.

2.2. Pendekatan Garis Kemiskinan Pendapatan

Pendekatan ini menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan dengan garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan (income based poverty line). Mereka yang dinyatakan berada dalam kemiskinan adalah individu, rumahtangga, masyarakat atau kelompok sosial yang memperoleh pendapatan standar minimal. Salah satu contoh penggunaan konsep ini adalah penetapan batas $1 per kapita per hari sebagai indikator kemiskinan dalam Goal 1: Millenium Development Goal (United Nations, 2000).

Kelemahan Pendekatan Garis Kemiskinan Pendapatan

Pendekatan ini mengandung beberapa kelemahan,seperti: 1) pendekatan ini menyamaratakan daya beli masyarakat untuk setiap wilayah, padahal tingkat harga barang dan jasa antar negara dan antar daerah cukup berbeda, terutama antara daerah pedesaan dan perkotaan dan antara daerah terpencil dan tidak terpencil; 2) pendapatan disini mengandung konsep statis, dimana orang yang berpendapatan dibawah $1 dikategorikan miskin, padahal orang tersebut bisa saja mengkonsumsi lebih dari $1 per hari melalui kredit atau pinjaman yang akan dilunasi dimasa yang akan datang, 3) pendapatan biasanya cenderung dilaporkan lebih rendah dalam survei, karena lupa, enggan, dan sulit diamati (terutama usaha pertanian).

2.3. Pendekatan Garis Kemiskinan Pengeluaran/Konsumsi

Pendekatan ini adalah pendekatan yang selama ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik dalam menghitung penduduk miskin di Indonesia. Pendekatan ini menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan kebutuhan hidup minimal yang layak (basic needs) untuk seseorang/rumahtangga. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar untuk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.

Berdasarkan pendekatan basic needs, maka dapat dihitung “garis kemiskinan konsumsi” dan selanjutnya dapat dihitung persentase penduduk miskin (Head Count Index), yaitu persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan bukan makanan per kapita pada kelompok penduduk referensi, yaitu penduduk kelas marjinal yang hidupnya berada sedikit diatas garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi terdiri dari garis kemiskinan makanan (batas kecukupan konsumsi makanan) dan garis kemiskinan non-makanan (batas kecukupan konsumsi non-makanan).

Batas kecukupan konsumsi makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum enerji 2100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Wydia Pangan dan Gizi (1978). Sejak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi, hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 1993 dan 1996. Paket komoditi makanan setelah 1996 dievaluais perkembangannya untuk tahun-tahun setelah 1996.

Batas kecukupan konsumsi non-makanan dihitung dari besarnya rupiahyang dikeluarkan untuk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum non-makanan, seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendididkan, transportasi, dan kebutuhan dasar non-makanan lainnya. Pemilihan jenis konsumsi non-makanan mengalami perkembangan dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode sebelum tahun 1993, jumlah jenis konsumsi non-makanan terpilih terdiri dari 14 jenis untuk perkotaan dan 12 jenis untuk pedesaan; sedangkan pada periode sejak tahun 1996 (Hasil SPKKD, 1996), jumlah jenis konsumsi non-makanan terpilih terdiri dari 51 jenis untuk perkotaan dan 47 jenis untuk perdesaan.

Secara rinci, prosedur estimasi penduduk miskin untuk tingkat propinsi dan nasional dapat dilihat pada publikasi “ Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS”. Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin per propinsi dan nasional dari tahun 1999-2002 dapat dilihat pada publikasi “Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002, Buku 1: Propinsi (BPS, 2002a).

Sejak tahun 2002, yaitu setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka disamping penghitungan penduduk miskin untuk tingkat nasional dan propinsi, BPS juga telah melakukan penghitungan penduduk miskin untuk tingkat kabupaten/kota dengan menggunakan data kor (pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari data kor Susenas telah dipergunakan dalam penghitungan DAU sejak tahun anggaran 2002. Metode dan hasil penghitungan penduduk miskin tingkat kabupaten/kota dapat dilihat pada publikasi “Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 2: Kbupaten/Kota (BPS, 2002b) .

Pengukuran Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Untuk mengukur tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan, Foster, Greer, danThorbecke (1984) merumuskan suatu ukuran seperti berikut:



Dimana:
 = 0,1,2
Z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi < z
Q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
N = Jumlah penduduk

Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase penduduk miskin, sedanglan jika =1 diperoleh Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index), dan =2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Indeks).
Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1)
Indeks Kedalaman Kemiskinan/ Poverty Gaps Index (P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Dengan demikian indeks ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan Melalui indeks kedalaman kemiskinan juga akan dapat diperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Ukuran ini masih belum realistis karena belum mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Sungguhpun demikian, ukuran tersebut memberikan informasi yang berguna mengenai skala minimum dari sumber keuangan yang diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan. Sebagai ukuran pengentasan kemiskinan, indeks ini cukup memadai karena transfer dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang sempurna. Namun indeks ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Indeks Keparahan Kemiskinan/ Poverty Severity Index (P2)
Untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin digunakan ukuran Poverty Severity Index (P2). Indeks ini secara sederhana merupakan jumlah dari poverty gap tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan poverty gap itu sendiri. Dalam penghitungannya, indeks ini dapat diperoleh melalui rumus FGT dengan nilai =2. Dengan mengkuadratkan poverty gap, indeks ini secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Hasil penghitungan Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, P1, P2, dan Garis Kemiskinan per propinsi untuk tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Keterbatasan Pendekatan Garis Kemiskinan Pengeluaran/Konsumsi

Perlu diketahui bahwa pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang telah mengikuti ketentuan-ketentuan pengukuran kemiskinan yang dilakukan secara luas di negara lain, tetapi hanya berdasarkan pendekatan ekonomi, yaitu konsep daya beli melalui pengeluaran/konsumsi rumahtangga dalam rupiah, yang tidak sepenuhnya demikian untuk daerah kabupaten. Disamping itu, penghitungan kemiskinan yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui Susenas modul konsumsi, hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat nasional dan propinsi. Walaupun BPS, dengan menggunakan data kor Susenas (berdasarkan data pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) telah melakukan penghitungan penduduk miskin untuk kabupaten/kota, tetapi penghitungan tersebut masih dalam konstruksi garis kemiskinan yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi yang didasarkan pada subsample Susenas yang lebih kecil (modul konsumsi) yang hanya mewakili tingkat propinsi. Budaya lokal dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya hanya secara tidak langsung dalam pendekatan ini melalui preferensi konsumsi yang diaggregasi untuk tingkat propinsi. Faktor komposisi rumahtangga hanya disesuaikan menurut jumlah anggota rumahtangga, padahal anggota rumahtangga dari masing-masing rumahtangga terpilih biasanya berbeda menurut umur, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan.

Permasalahan lain dari pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini adalah bahwa pengukuran tersebut adalah pengukuran makro, yaitu ukuran estimasi berdasarkan sampel rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya bisa digunakan untuk alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak bisa digunakan secara operasional untuk mengidentifikasi rumahtangga penduduk miskin di lapangan. Disamping itu, asumsi rumahtangga pada Susenas juga mengikuti model rumahtangga/keluarga inti (nuclear family) sebagai pengambil keputusan dalam transaksi ekonomi. (sama seperti konsep keluarga sejahtera BKKBN). Kedua hal ini belum tentu sesuai di daerah lain, karena tidak sensitif dengan transfer dalam bentuk benda diluar pasar formal, pertukaran-pertukaran diantara individu yang saling tergantung, keluarga inti dan keluarga yang lebih luas, hubungan keluarga secara individu dan kelompok keluarga yang cukup banyak.


2.4. Pendekatan Karakteristik Rumah Tangga/Keluarga

2.4.1. Pendataan Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I

Pendekatan BKKBN dalam pengukuran kemiskinan didasarkan pada kriteria keluarga yang dibuat dalam 5 (lima) tahapan, yaitu “keluarga prasejahtera”, “ keluarga sejahtera tahap I”, “keluarga sejahtera tahap II”, “keluarga sejahtera tahap III”, dan “keluarga sejahtera tahap III plus”. Keluarga miskin adalah keluarga-keluarga yang pada pendataan keluarga secara lengkap (sensus) adalah “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I”. Keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga yang memenuhi lima indikator berikut:

a. anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing;
b. seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari atau lebih;
c. seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda dirumah, sekolah, bekerja, dan bepergian;
d. bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan
e. bila anak sakit atau pasangan usia subur (PUS) ingin mengikuti keluarga berencana (KB) pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.
“Keluarga prasejahtera” adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu kriteria tersebut.

Konsep “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I” tersebut sifatnya normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti (nuclear family). Oleh karena ukuran kemiskinan oleh BKKBN tidak begitu akurat untuk konteks daerah yang masih menganut sistim kekerabatan keluarga..

Indikator-indikator BKKBN yang mengobservasi karakteristik sosial ekonomi, seperti frekwensi makan anggota keluarga dalam sehari, pemilikan pakaian yang berbeda-beda tersedia untuk individu dalam setiap kegiatan yang berbeda (dirumah, bekerja, sekolah, dan bepergian), kondisi lantai rumah (tanah, kayu, semen), perilaku keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan bahkan perilaku anggota keluarga melaksanakan aktifitas keagamaan sebagai pre-kondisi dari keinginan untuk memberikan harta seseorang untuk yang memerlukan semuanya didasarkan norma keluarga kecil (nuclear family) dan sejahtera tanpa memperhatikan tekanan untuk saling membantu diantara jaringan keturunan dan tetangga.

Jumlah keluarga Pra KS dan KS-1 tahun 1999 menurut propinsi dan perbandingannya dengan jumlah rumahtangga miskin berdasarkan garis kemiskinan konsumsi dari hasil Susenas1999 disajikan pada Lampiran 2: Dari Lampiran 2 tersebut terlihat bahwa hasil penghitungan BKKBN jauh lebih besar daripada hasil perhitungan BPS.

2.4.2. Pendataan Karakteristik Rumahtangga Miskin Hasil Susenas

Pada tahun 2000 BPS juga telah melakukan studi penentuan kriteria penduduk miskin di beberapa propinsi, yang bertujuan untuk mencari variabel-variabel yang dapat dipakai untuk merumuskan suatu kriteria yang dapat dipergunakan dalam mengidentifikasi penduduk/rumahtangga miskin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka akan dapat diidentifikasi rumahtangga-rumahtangga yang terkategori miskin.

Berdasarkan studi tersebut diperoleh delapan variabel yang layak dan operasional untuk diterapkan di lapangan (BPS, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil atau lebih besar dari 8m2), jenis lantai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air bersih (tidak terlindung atau terlindung), keberadaan jamban tidak ada atau ada, kepemilikan asset (tidak punya atau punya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak bervariasi dan bervariasi), pembelian pakaian (minimal membeli satu stel pakaian atau tidak), kehadiran dalam kegiatan sosial (ya atau tidak. Kedelapan variabel tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi penduduk/rumahtangga diantaranya aspek sandang, pangan, perumahan, kepemilikan asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002, kedelapan variabel-variabel tersebut telah ditambahkan pada Susenas Kor, dimana variabel-variabel yang mengacu pada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan yang mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan dimana skor 1 dan skor 0. Dengan demikian akan diperoleh skor maksimum 8 untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu 0 untuk yang paling tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategorikan miskin.
Dengan demikian akan diperoleh skor maksimum 8 untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu 0 untuk yang paling tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategorikan miskin.

Perbandingan Rumahtangga/Penduduk Miskin hasil Pendekatan Delapan Karakteristik Rumahtangga Miskin dan Pendekatan Konsumsi pada tahun 2002 dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari hasil tersebut tampak bahwa kriteria delapan variabel tersebut tidak bisa diterapkan untuk semua daerah, karena hasilnya sangat berbeda dengan pendekatan garis kemiskinan konsumsi. Dengan menggunakan skor 5 atau lebih sebagai ukuran rumahtangga miskin, terlihat bahwa ukuran tersebut hanya cocok untuk Prop. DKI Jakarta. Ini mengindikasikan bahwa pengukuran kemiskinan berdasarkan karakteristik rumahtangga miskin seharusnya tidak dilakukan secara seragam dan sentralistik, tetapi harus spesifik lokal dan dirancang oleh daerah dengan memperhatikan dinamika sosial setempat.

2.4.3 Sensus Rumahtangga Miskin

Dalam rangka memenuhi permintaan pemerintah daerah akan data penduduk miskin untuk target program, propinsi-propinsi seperti Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur telah melakukan pendataan rumahtangga miskin secara lengkap, dengan menggunakan karakteristik yang dirancang sendiri di daerah. Penentuan karakteristik rumahtangga miskin untuk ketiga propinsi tersebut dijelaskan dibawah ini.

a. Propinsi Kalimantan Selatan

Sensus kemiskinan di propinsi Kalimantan Selatan dilakukan pada tahiun 1999. Hasil pendataan tersebut dimaksudkan untuk penentuan rumahtangga-rumahtangga yang layak mendapat dapat sembilan bahan pokok (Sembako). Penentuan rumahtangga miskin didasarkan pada hasil scoring dari beberapa variabel yang diolah dari hasil pendataan rumahtangga. Secara garis besar variabel dimaksud adalah: 1) kelompok pendapatan perkapita, 2) pola makanan, 3) pakaian, 4) Perumahan : 5) Luas lantai, 6) jenis lantai, 7) jenis atap, 8) jamban, dan 9) fasilitas TV. Penentuan nilai skor untuk masing-masing variabel dibedakan untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Dasar penentuan nilai skor diperoleh dari beberapa kali uji coba.

b. Propinsi Jawa Timur.

Sensus kemiskinan di propinsi Jawa Timur dilakukan pada tahun 2001. Penentuan skor untuk mengukur Indeks Rumahtangga Miskin (IRM) dilakukan dengan metode skor tertimbang (weighted scoring method) dari setiap kategorinya. Dengan menggunakan 11 variabel (dibagi kedalam 3 kategori), setiap variabel diberi skor 1 untuk yang cenderung tidak miskin, skor 2 untuk yang miskin, dan skor 3 untuk yang sangat miskin.Varianel-variabel tersebut adalah: 1) jumlah pakaian yang dibeli, 2) fasilitas air bersih, 3) persentase pengeluaran rumahtangga untuk makanan, 4) kepemilikan rumah, 5) jenis dinding, 6) jenis lantai, 7) sarana buang air besar, 8) sumber penerangan rumah, 9) partisipasi sekolah, 10) sumber keuangan rumahtangga, dan 11) pelayanan kesehatan. Rumus IRM adalah sebagai berikut :



dimana:
IRM = Indeks Rumahtangga Miskin
Si = Skor variabel i

Wi = Penimbang setiap variabel (total penimbang = 100)

Metode skoring ini memberikan interval nilai 1-3 yang dusebut sebagai Indeks Tingkat Kemiskinan yang artinya bahwa semakin tinggi nilai indeksnya semakin miskin kondisi rumahtangga bersangkutan. Orang yang tidak miskin mempunyai nilai indeks kecil atau mendekati 1 (satu).

Untuk perbandingan antar wilayah, indeks secara wilayah dapat dihitung secara berjenjang dari Rukun Tetangga (RT), desa, kecamatan, kabupaten/kotamadya dan provinsi. Indeks RT diperoleh melalui rumus berikut:



IRT = Indeks RT
IRMi = IRM ke i
i = 1, 2, 3, …, n
N = jumlah rumahtangga miskin di dalam RT

Penghitungan indeks sudah harus menggunakan penimbang rumahtangga/penduduk miskin dengan rumusan berikut:



Indeks ini menunjukkan bahwa semakin tinggi angkanya mengindikasikan bahwa RT tersebut mempunyai rumahtangga-rumahtangga dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

c. Propinsi DKI Jakarta

Sensus kemiskinan di provinsi DKI Jakarta dilakukan pada tahun 2000. Penentuan suatu rumahtangga dikategorikan sebagai rumahtangga miskin yaitu apabila memiliki minimal 3 ciri/variabel dari 7 variabel kemiskinan rumahtangga yaitu : 1) luas lantai hunian kurang dari 8m2 per anggota rumahtangga, 2) jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya, 3) fasilitas air bersih tidak ada, 4) fasilitas jamban/WC tidak ada dan atau WC umum, 5) kepemilikan aset (kursi tamu) tidak ada, 6) konsumsi lauk-pauk dalam seminggu tidak bervariasi, 7) kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap anggota rumahtangga: tidak ada.

d. Keterbatasan Sensus Rumahtangga Miskin

Usaha untuk mengidentifikasi rumahtangga di tiga propinsi tersebut diatas merupakan usaha yang baik dalam memenuhi permintaan pemerintah daerah untuk target program pengentasan kemiskinan.Namun demikian, pendekatan yang digunakan belum sistemik (tidak mengkaitkan kemiskinan dengan organisasi sosial setempat), masih bersifat sentralistik (pada tingkat propinsi, dan menggnakan variabel-variabel yang seragam untuk semua kabupaten/kota.

3. Perkembangan Pengukuran Kemiskinan

Sehubungan dengan diperlukanya basis data kemiskinan untuk program penanggulangan kemiskinan pada tingkat kabupaten, dalam dua tahun terakhir ini telah terjadi perkembangan pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada pendekatan dari bawah (akar rumput) pada tingkat kabupaten. Dua pengembangan pengukuran yang sedang berjalan sekarang ini adalah studi identifikasi indikator poksi kemiskinan berbasis lokal oleh Bappenas dan Yayayan Insan Harapan Sejahtera (IHS) dan Studi Pengukuran Kemiskinan yang Spesifik-Lokal dan Sayang Budaya oleh BPS, Pemda Sumba Timur, GTZ, dan Unicef. Berikut diuraikan kajian terhadap kedua studi tersebut.

3.1. Pengukuran Kemiskinan Berbasis Lokal (Bappenas dan IHS)

Pada tahun 2002, Bappenas bekerjasama dengan HIS telah melakukan studi pengukuran kemiskinan berbasis lokal di 10 (sepuluh) kabupaten di Indonesia (IHS, 2003). Studi ini dimaksudkan untuk pengembangan basis data kemiskinan yang diperlukan untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. Pengumpulan data dilakukan secara kualitatif melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, dan pengamatan. Responden adalah orang lokal, miskin dan tidak miskin. Data yang dikumpulkan mencakup pendapat akar rumput tentang: arti kemiskinan, masalah utama yang dihadapi oleh orang miskin, penyebab kemiskinan, strategi orang miskin untuk bertahan hidup, kemungkinan keluar dari lingkaran setan kemiskinan, dan jenis bantuan pemerintah untuk orang miskin.

Hasil studi ini mengindikasikan bahwa orang miskin adalah mereka yang mempunyai pilihan terbatas untuk makan, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi di kegiatan sosial. Untuk makan, orang miskin terpaksa mengkonsumsi bukan nasi atau nasi dicampur karbohidrat lain; lauk pauk tidak bervariasi, dan frekuensi makan dibatasi. Untuk kesehatan, orang miskin mempunyai pilihan berobat dan pilihan fasilitas kesehatan modern terbatas. Untuk pendidikan, orang miskin mempunyai pilihan terbatas untuk melanjutkan, pilihan terbatas untuk fasilitas pendidikan, dan pemakaian buku tulis dan teks yang terbatas. Terakhir, untuk partisipasi di kegiatan sosial, orang miskin terpaksa tidak ikut kegiatan kelompok sosial dan tidak mempunyai waktu untuk ngobrol di warung. Studi ini juga menemikan bahwa penyebab kemiskinan adalah terbatasnya modal manusia, asset dan uang, lingkungan fisik, lapangan kerja, serta adanya streotipe orang miskin menurut orang tidak miskin dan miskin.

Menurut Ritonga dan Betke (2003) pengukuran kemiskinan dengan metode ini masih mengandung kelemahan antara lain:
a. Pendekatan studi ini masih parsial dan subjektif karena kurang memperhatikan sejarah lokal secara eksplisit dan hanya berdasarkan pendapat penduduk atau warga akar rumput (pendekatan partisipatori) yang tidak mungkin mewakili keutuhan sistem lokal; malahan bisa mencerminkan ideology dari golongan elit saja.
b. Unit observasi/analisis adalah rumahtangga yang dilihat sebagai satuan sosial-ekonomi yang otonom, dengan melihat rumahtangga sebagai satuan konsumsi saja.
c. Satuan sosial-ekonomi (rumahtangga) dianggap seragam antar daerah, sehingga kurang mencerminkan dinamika sosial setempat yang nyata.
d. Kurang memperhatikan kemiskinan anak, perempuan, dan lanjut usia bila berfokus pada rumahtangga sebagai satuan terkecil.
e. Penentuan indikator berdasarkan proses seragam di sepuluh kabupaten yang dikaji secara cepat tanpa studi persiapan/literatur tentang organisasi sosial setempat.
f. Unit pengukuran sebagai “wadah indikator” tidak disesuaikan dengan situasi setempat yang nyata.
g. Proses penentuan indikator berdasarkan asumsi bahwa faktor kemiskinan di seluruh kabupuaten adalah seragam dan tidak memungkinkan variasi indikator antar daerah karena “mengganggu” keseragaman sistem nasional.
h. Penentuan indikator tidak dilakukan melalui forum komunikasi dengan utusan daerah (masih bersifat “top-down dan “non-partisipatory” dalam arti kerjasama).
i. Memprioritaskan kelengkapan Sistim Statistik Nasional.

Bertitik tolak dari kelemahan tersebut, pengukuran kemiskinan berbasis lokal ini diduga masih kurang bermanfaat untuk kebijakan lokal.

3.2. Pengukuran Kemiskinan yang Spesifik-Lokal (BPS)

Seiring dengan meningkatnya permintaan statistik kemiskinan yang bermanfaat lokal, sejak tahun 2002 BPS Pusat telah melakukan suatu studi mendalam tentang Pemantauan Kemiskinan yang Spesifik-lokal di Kabupaten Sumba Timur, yang didanai secara bersama oleh BPS Pusat, German Technical Agency (GTZ), Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, dan UNICEF. Studi ini merupakan “Laboratorium Statistik” yang dilakukan secara cermat dan hati-hati untuk menghasilkan pengukuran kemiskinan yang “bermanfaat lokal”. Dalam pelaksanaannya, studi ini dilakukan oleh tiga direktorat di BPS, yaitu Direktorat Analisis Statistik, Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, dan Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat. Studi mendalam ini , yang nantinya akan direplikasikan untuk beberapa kabupaten lain menurut tifologi daerah (berdasarkan kelompok daerah yang relatif mempunyai kesamaan wilayah geografis dan budaya) Hasil dari studi-studi ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi BPS daerah dan pemerintah daerah dalam mengembangkan pengukuran kemiskinan yang “bermanfaat lokal”.

Pada awalnya, Laboratorium Pemantauan Kemiskinan yang Spesfik-Lokal dan Sayang Budaya di Kabupaten Sumba Timur dilaksanakan atas permintaan Pemerintah Daerah Sumba Timur kepada BPS Pusat dan GTZ-Nusa Tenggara untuk mengembangkan sistim pemantauan kemiskinan yang secara realistik dapat menjelaskan akar permasalahan kemiskinan di Sumba Timur. Permintaan ini didasarkan pada adanya dua data kemiskinan yang sangat berbeda, yaitu persentase jumlah penduduk miskin oleh BPS (hasil estimasi dari sampel rumahtangga SUSENAS) dan persentase keluarga miskin (keluarga pra-sejahtera dan sejahtera tahap I) hasil pendataan keluarga secara lengkap oleh BKKBN. Disatu pihak, berdasarkan data BKKBN Kabupaten Sumba Timur pada tahun 1999 diketahui bahwa sebagian besar keluarga Sumba Timur, yaitu 84,3 persen, berstatus keluarga miskin. Data keluarga miskin oleh BKKBN ini biasanya digunakan untuk target program, khususnya untuk penyaluran berbagai program pengentasan kemiskinan seperti pembagian beras untuk keluarga miskin (raskin). Dilain pihak, data kemiskinan hasil SUSENAS pada tahun yang sama diketahui jauh lebih rendah, yaitu sebesar 27,2 %. Data penduduk miskin hasil Susenas ini biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengalokasian berbagai dana bantuan untuk pengentasan kemiskinan secara regional. Dengan dua data yang sangat berbeda ini, Pemerintah Daerah Sumba Timur mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, dan bahkan bisa menimbulkan kebijakan salah arah serta konflik di masyarakat. Disatu pihak, dengan jumlah penduduk miskin yang kecil dari BPS bisa mengakibatkan alokasi bantuan yang lebih kecil untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten Sumba Timur, tetapi dilain pihak angka kemiskinan dari BKKBN dapat menimbulkan konflik dalam penyaluran program bantuan kemiskinan karena jumlah keluarga miskin di Kabupaten Sumba Timur sangat besar. Secara metodologi, ada perbedaan mendasar antara ukuran kemiskinan makro dan kuantitatif yang dibuat oleh BPS untuk tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten, dengan ukuran kemiskinan mikro dan kualitatif yang dibuat oleh BKKBN sampai pada tingkat desa. Tetapi berdasarkan penggunaannya, keduanya didesain secara terpusat dan menggunakan konsep yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.

Studi di Sumba Timur diawali dengan pengumpulan informasi melalui observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan dalam pertemuan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat politik penanggulangan kemiskinan, pengukuran, dan aktifitas-aktifitas penanggulangan kemiskinan. Pihak-pihak yang diwawancarai adalah Bupati, Kepala Dinas/Kantor/Badan pemerintahan terkait, dan beberapa pimpinan lembaga non-pemerintah termasuk LSM. Disamping itu, juga dipelajari laporan-laporan penelitian, laporan dan statistik sektoral, serta dokumen lainnya yang relevan. Juga dilakukan kunjungan lapangan ke beberapa desa pemukiman dengan daerah yang sosio-ekologisnya berbeda, dimana wawancara dilakukan dengan laki-laki dan perempuan desa, termasuk kepala desa.

Berdasarkan temuan-temuan penulis, tidak satupun ukuran yang dibuat di pusat yang dapat memberikan hasil yang berarti dalam konteks yang khas Sumba-Timur. Proses pertukaran secara barter dalam jaringan yang lebih luas, dimana sekarang ini juga berhubungan secara tidak langsung dengan intervensi dan investasi orang luar, dapat menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan bagi sebagian besar populasi (Ritonga dan Betke, 2002). Tidak seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, kehidupan sehari-hari di Sumba Timur, khususnya di daerah pedesaan pada umumnya masih mengikuti tradisi lama dan upacara-upacara kebudayaan yang bersifat “megalitik” yang sudah lama ditinggalkan di daerah lain di Indonesia. Lokasi yang terpencil dan relatif terbatasnya sumber daya alam dengan perilaku yang suka berperang dari penghuni pulau yang penuh dengan bukit-bukit ini telah menghambat kekuatan asing seperti kerajaan besar Majapahit, VOC Belanda, dan juga gereja-gereja untuk membuat usaha yang serius dan terus-menerus mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan organisasi politik yang diinginkan oleh para penghuni pulau ini.

Studi ini masih berlanjut melalui proses studi-studi lapangan dan diikuti workshop-worshop dengan semua stakeholder untuk mendapatkan unit observasi/analisis yang tepat dan mempelajari penyebaran kerentanan antara tahapan usia (life span) dan jenis kelamin (gender). Diharapkan bahwa laporan secara lengkap tentang studi ini akan diselesaikan pada bulan April 2003.

Setelah melihat secara mendalam proses sosial, politik, ekonomi, dan konteks budaya yang mungkin mendorong kemiskinan dan ketidakmerataan pada tingkat komunitas dan pada tingkat keluarga di Sumba Timur, jelas bahwa strategi-strategi pengukuran yang dirancang secara sentralistik sekarang ini tidak akan berhasil di daerah kabupaten seperti Sumba Timur dan mungkin juga di kabupaten lainnya di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penulis menyarankan perlunya dilakukan pengukuran kemiskinan yang lebih merefleksikan informasi yang khas-daerah dan sensitif budaya. Ide ini didasarkan atas interpretasi menyeluruh dari sistem ekonomi politik masyarakat Sumba Timur. Studi seperti ini juga perlu dilakukan di kabupaten lain di Indonesia.

4. Penutup

Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121 Tahun 2001 dijelaskan bahwa BPS sebagai anggota dari Komite Pengentasan Kemiskinan (KPK) menjadi lembaga teknis yang menjadi koordinator dalam penyediaan dan analisis data dan informasi yang digunakan dalam tahap perencanaan dan evaluasi dari program penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan oleh BPS (Pusat dan Daerah) saat ini adalah mengembangkan dan memperbaiki informasi kemiskinan di tingkat nasional dan membantu pemerintah daerah dalam pengembangan pemantauan kemiskinan yang spesifik lokal.

Pengukuran kemiskinan yang ada sekarang ini perlu dicermati lebih kritis, terutama terhadap manfaatnya untuk pemantauan hasil-hasil pembangnan terhadap penurunan penduduk miskin, dan sebagai input data untuk perencanaan pembangunan. Walaupun masih belum sepenuhnya sempurna, pengukuran kemiskinan secara makro yang dilakukan BPS selama ini dengan pendekatan garis kemiskinan pengeluaran masih merupakan ukuran kemiskinan yang ideal untuk memperbandingkan antar daerah, dan dapat dipakai dalam alokasi anggaran seperti halnya dalam alokasi DAU ke setiap kabupaten/kota. Namun demikian, pengukuran tersebut masih tidak dapat digunakan untuk targeting dan tidak menggambarkan variasi lokal.

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang secara sentralistik di pusat, yaitu: pendekatan garis kemiskinan pendapatan, pendekatan garis kemiskinan pengeluaran, dan pendekatan karakteristik rumahtangga/keluarga miskin masih kurang memadai dan kurang realistik dalam memantau kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di daerah. Oleh karena itu, disamping ukuran-ukuran kemiskinan makro yang lebih akurat dan yang diperlukan dalam sistim statistik nasional, perlu sekali juga diperoleh ukuran-ukuran kemiskinan yang spesifik lokal. Namun demikian, sistem informasi yang dikumpulkan secara lokal perlu diintegrasikan dengan sistem informasi nasional sehingga keterbandingan antar wilayah, khususnya keterbandingan antar kabupaten dan propinsi tetap terjaga.

Untuk pemantauan kesejahteraan daerah yang spesifik-lokal dan sayang budaya perlu dilakukan beberapa kegiatan pengumpulan data dan studi yang mencakup peristiwa kehidupan, yang mencakup sistim kekerabatan, sistim ekonomi, pola pemukiman dan sifat kawasan.. Perubahan teknis tersebut perlu didasarkan klarifikasi ilmiah akan kategori dan interpretasi pola kehidupan sehari-hari yang dapat disepakati antara semua. Untuk memantau kesejahteraan individu, secara khusus data yang dikumpulkan perlu didasarkan pada tahapan hidup sejak adanya janin sampai lanjut usia dari seorang anggota rumahtangga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, maka perlu ada komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengeloolaan informasi diharapkan akan mengurangi pemborosan dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersedian informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Disamping itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder baik lokal maupun nasional/internasional agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistik, yang dapat ‘diterjemahkan” kedalam berbagai kebijakan yang perlu diambil dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah. Tinjauan terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Indikator-indikator tersebut tentunya harus bersifat -lokal dan sayang budaya.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini bisa disebabkan kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin lokal dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemda, instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.

Sebagai rekomendasi terakhir adalah pemerintah daerah perlu membangun sistim pengelolaan
informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan
dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu Pembentukan tim teknis yang
dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistim pengelolaan informasi yang spesifik
daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi
terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional agar secara kontinu dapat
dikembangkan sistim pengelolaan informasi yang spesifik-daerah.



5. REFERENSI

Betke, F. and H. Ritonga (2002). Managers of Megalithic Power: Towards an understanding of contemporary political economy in East Sumba. A Report on a rapid assessment of challenges and opportunities for development of an area-specific and culture-sensitive approach to poverty monitoring in the district of Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Based on collaboration between BPS-Statistics Indonesia and the German Agency for Technical-Cooperation (GTZ GmbH). Jakarta: BPS
Badan Pusat Statistik (2002a). Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002 Buku 1:Propinsi
Jakarta:BPS
Badan Pusat Statistik (2002b). Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002 Buku 2: Kabupaten/Kota. Jakarta:BPS
Foster, J,E, J, Greer, and E. Thorbecke (1984). “A Class of Decomposable Poverty Measures”, Econometrica 52: 761-766.
Ritonga, H dan F. Betke (2002). “Menuju Pendekatan Pemantauan Kesejahteraan Rakyat yang Khas-Daerah dan Sayang Budaya. Laporan untuk Badan Pusat Statistik dan Lembaga Kerjasama Teknis Jerman (GTZ)
Ritonga, H dan F. Betke (2003). “Beberapa Kesan Tentang Perbedaan Pengembangan Indikator Kemiskinan yang Spesifik-Lokal”. Disampaikan pada Lokakarya tentang Operasionalisasi Konsep Kemiskinan Berbasis Lokal, Jakarta 29 Januari 2003..
Sutanto, A. and A. Avenzora (1999). Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999: Metode BPS.

Tidak ada komentar: