Minggu, 29 Juni 2008

Statistik, Indikator dan Analisis Gender[1]
Oleh: Johnny Anwar ZS[2]

Pendahuluan

Gender adalah suatu konstruksi sosial dan kultural yang sangat kuat yang menstruktur relasi sosial di antara laki laki dan perempuan. Tujuan darianalisis gender adalah untuk memahami hubungan hubungan yang mempengaruhi pertukaran social, cultural, dan ekonomi di antara perempuan dan laki laki di berbagai bidang, mulai dari rumahtangga hingga komunitas/masyarakat. Relasi gender juga mempertajam kerja dan agenda riset dari berbagai Negara, daerah, dan lembaga lembaga multilateral. Analisis gender tidak hanya sekedar tentang perempuan tetapi juga menaruh perhatian terhadap kaum lelaki. Ia ditujukan pada isu isu fundamental seperti kekuatan dan relasi social antara lelaki dan perempuan, demikian juga di antara perempuan itu sendiri, dan bagaimana serta oleh siapa gagasan maskulinitas dan feminitas ditentukan.

Gender mainstreaming (pengarusutamaan gender) telah dan terus menjadi agenda institusional United Nation (Perserikatan Bangsa Bangsa - PBB) selama hampir dua dekade. Serangkaian mandat sejak era 1980-an telah dijadikan katalisator oleh PBB. Pelbagai konferensi ”Dekade Perempuan” telah mengarahkan berbagai badan di PBB untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender lintas operasi mereka. Bahkan, pada United Nation Fourth World Conference on Women, yang diselenggarakan di Beijing pada September 1995 atau duabelas tahun yang lalu, komitmen tersebut tanpa keraguan diperbaharui dengan partisipasi dari berbagai negara peserta termasuk Indonesia. Komitmen negara negara tersebut menjadikan ”platform actions” yang komprehensif yang diharapkan dapat menjamin,atau dengan kata lain ”bahwa perspektif gender tersebut dapat terrefleksikan dalam pelbagai kebijakan dan program pembangunan. Dengan demikian, sebelum keputusan diambil, suatu analsis tentang efeknya terhadap lelaki dan perempuan, perlu dibuat

Ada banyak varian definisi tentang pengarusutamaan gender yang tidak mungkin kami eksplor disini menyaratkan paper. Berikut adalah beberapa definisi tentang gender mainstreaming yang menonjol digunakan banyak kalangan. “Pengarusutamaan dipahami sebagai struktur pokok sebuah organisasi, di mana identitas dan sensi dari tujuan organisasi dibentuk, divalidasi, dan diperbarui. “Pengarusutamaan” terdiri dari saling berkelindannya ide ide, arahan arahan, terhadap keputusan keputusan, kebijakan kebijakan atau tindakan tindakan dominan yang diambil terkait ide ide tersebut. Pengarusutamaan adalah dimana ideology (sebagai kunci teori dan asumsi) dan kapasitas kelembagaan (berupa anggaran, alokasi staf, dan proses pengambilan keputusan) mengerucut (konvergen).

Hegemoni kekuasaan dari konvergensi ini mengisyaratkan mengapa hal tersebut begitu kritis diperlukan untuk membawa gender ke dalam pengarusutamaan. Ide ide dan praktek praktek dalam pengarusutamaan menentukan apa yang harus dikerjakan dan menyediakan rasionalitas bagi pengalokasian sumberdaya sosial dan berbagai kesempatan. Secara klasik dipahami bahwa perempuan telah dan masih terus dieksklusi atau --sangat terinklusi—dari kesempatan kesempatan ini. Pemulihan terhadap ketidakimbangan/ketidakadilan klasik, pengarusutamaan gender terselenggara pada dua tingkatan.

Pertama, pengarusutamaan gender beroperasi pada tingkat “formasi institusi” dan budaya organisasi. Tujuan dari pengarusutamaan dalam konteks ini adalah membawa perempuan ke dalam posisi pengambilan keputusan dan pemformulasian kebijakan dalam organisasi. Suatu strategi pengarusutamaan yang efektif akan membawa perempuan ke dalam posisi di mana mereka dapat mengambil bagian yang basisnya setara dengan lelaki dalam menentukan nilai nilai kelembagaan, pengarahan dan pengalokasian sumberdaya. Ia juga diharapdapat menjamin perempuan mempunyai akses yang sama dengan lelaki terhadap sumberdaya di dalam institusi/lembaga. Namun demikian, pengarusutamaan gender yang efektif jauh melampaui sekedar menjamin partisipasi perempuan dalam ukuran kuantitatif yang sama semata, – ia jauh meluas ke pemfasilitasian sebuah bentuk partisipasi yang dapat memberdayakan perempuan, seperti juga lelaki, dalam mempengaruhi ke seluruhan agenda dan prioritas organisasi. Ini membutuhkan suatu penilaian pada komposisi gender dan struktur personil dalam organisasi, demikian juga dalam penilaian yang lebih tak terukur terhadap budaya kelembagaan.

Kedua, pengarusutamaan gender memerlukan penginklusian perspektif gender yang sistimatis melalui programprogram, kebijakan, konseptual, dan kerja analitik dari organisasi. Isu gender perlu diidentifikasi dan diinkorporasikan ked lam seluruh tahap perencanaan dan inisiasi strategis dari pembangunan

Secara ringkas dapat kita simpulkan bahwa pengarusutamaan gender mungkin dapat dipahami sebagai proses yang kotinu/berkelanjutan dalam menanamkan perspektif gender ke dalam, baik budaya kelembagaan maupun upaya upaya programatik dan analitik dari suatu lembaga. Pengarusutamaan gender berarti menganggap gender secara serius untuk diimplementasikan dalam pelbagai aspek dari tempat kerja dan produkkerja dari suatu lembaga.

Dari gambaran di atas dapat kita rasakan bahwa apabila kita akan membuat analisis gender rentang cakupannya adalah seluruh aspek kehidupan.Oleh karena itu analisis gender juga dikategorikan analisis lintas sector, yang konsekuensinya menuntut analis yang paham pada bidangnya masing masing dan paham akan konsep dari pengarusutamaan gender itu sendiri.

Analisis Gender

Secara umum telaah banyak pihak terhadap permasalahan, meski mencakup segenap aspek kehidupan, difokuskan terhadap ketidakadilan gender (gender inequalities).Perhatian ini muncul setelah disadari bahwa meski masing masing jenis kelamin perempuan dan laki laki tersebut memiliki kekhasan tersendiri (stereotype)sebagai makhluk ALLAH: perempuan relatif kurang rasional, emosional, dan lemah lembut;sedangkan laki laki lebih rasional, kuat dan perkasa, namun ternyata perbedaan alami tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.

Ketidakadilan ini termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan seperti:marginalisasi atau proses pemiskinanperempuan dalam bidang ekonomi, subordinasi atau dianggap tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negative, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak dapat dipisah pisahkan karena semua saling jalin menjalin.Tidak satupun manifestasi ketidakadilan lebih penting,atau lebih esensial dari yang lain. Sebagai contoh marginalisasi ekonomi kaum perempuan justeru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaumperempuan dan itu menyumbang pada subordinasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan yang pada gilirannya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan demikian kita tidak dapat menyatakan bahwa marginalisasi kaum perempuan adalah persoalan yang paling esensial dari ketidakadilan gender.

1. Gender dan marginalisasi perempuan
Analisis atau studi tentang hal ini memberi perhatian pada pemiskinan perempuan. Kemiskinan memang bisa terjadi pada siapa saja baik perempuan maupun laki laki, namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas salah satu jenis kelamin tertentu yaitu perempuan. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa berasal kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, program swasembada pangan yang menggunakan padi jenis unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan menggunakan sabit, membuat panenan padi dengan menggunakan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dengan pemanen perempuan di Jawa. Akibatnya banyak perempuan miskin di desa termarginalisasikan dan tersingkir karena tidak mendapat pekerjaan di sawah pada musim panen. Dengan demikian berarti program swasembada pangan atau revolusi hijau tersebut dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.

2. Gender dan subordinasi
Dalam analisis ini dimulai dari anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional, sehingga tidak pantas tampil kedepan untuk memimpin. Hal ini pernah dialami Presiden Megawati ketika mencalonkan diri sebagai presiden keenam republik ini. Akibatnya muncul sikap untuk menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Di beberapa kalangan masyarakat pada zaman dahulu, bahkan masih terlihat juga di zaman sekarang, masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi,tokh akhirnya ke dapur juga. Bahkan pemerintah pernah menurunkan peraturan bahwa jika seorang suami akan sekolah di luar negeri (jauh dari keluarga)tidak perlu mendapat persetujuan dari istri, tetapi sebaliknya bila sang istri (perempuan) yang akan sekolah ia harus dapat persetujuan lebih dulu dari suaminya. Di dalam keluarga pun masih sering terdengar, bahwa apabila dalam kondisi keuangan yang terbatas, orang tua harus memutuskan anak yang mana di antara laki laki dan perempuan yang harus disekolahkan, maka anak laki laki akan mendapat prioritas utama.

3. Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (aasault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satunya adalah terhadap jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan bias gender ini disebut gender related violence. Pada dasarnya kekerasan gender ini disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Ada beragam macam bentuk kekerasan yang diderita kaum perempuan, seperti pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan yang mengarah pada alat kelamin (seperti penyunatan), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi, kekerasan terselubung (pelecehan seksual).

4. Gender dan beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumahtangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumahtangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai hingga mengurus anak dan suaminya. Di kalangan keluarga miskin beban yang semakin berat ini harus ditanggung oleh kaum perempuan sendiri. Terlebih lagi bilaperempuan pun harus membantu mencari nafkah,maka ia memikul beban ganda.

Semua permasalahan gender yang terfokus pada ketidakadilan ini kerap kali menjadi bahan telaah kalangan peneliti maupun kalangan akademisi yang sedangmenyusun disertasi atau tesis..
Duabelas Bidang Kritis dari Konferensi Beijing
Ketidakadilan gender di atas juga muncul di pelbagai bidang. Konferensi Perempuan di Beijing pada tahun1995 menghasilkan kesepakatan menyangkut 12 bidang kritis yang menjadi perhatian dalam platform for action peretasan ketidakadilan gender.. Keduabelas bidang ini juga dapat digunakan sebagai titik mulai analisis, dan penyiapan statistik dan indikatorgender. Berikut adalah keduabelas isu tematik yang menjadi bidang perhatian dalammasalah gender:

o Perempuan dan kemiskinan
Lebih dari 1 milyar orang di muka bumi saat ini, yang sebagian besar merupakan perempuan, hidup dalam kondisi dirundung kemiskinan, kebanyakan di antara mereka hidup di Negara Negara berkembang dan kurang berkembang. Kemiskinan ini mempunyai beragam penyebab, termasuk di antaranya maslah structural (kemiskinan struktural). Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi yang bisa berasal baik dengan domain nasional maupun internasional.
o Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan
Pendidikan adalah hak azasi manusia dan suatu alat yang esensial untuk meraih tujuan kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan baik bagi anak perempuan maupun laki laki dan pada gilirannya akan berkontribusi hubungan yang lebih setara antara perempuan dan laki laki.
o Perempuan dan kesehatan
Perempuan mempunyai hak untuk menikmati pelayanan kesehatan fisik dan mental berstandar tinggi. Kenikmatan atas hak ini adalah sesuatu yang vital bagi kehidupan mereka dan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpartisipasi di seluruh bidang kehidupan public maupun privat.
o Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah hambatan terhadap berbagai tujuan pencapaian kesetaraan, pembangunan dan perdamaian. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan itu sendiri dan ketidakadilan atau mengecilkan arti perempuan berarti menisbikan kenikmatan hak azasinya serta kebebasan fundamentalnya.
o Perempuan dan konflik bersenjataSuatu lingkungan yang dapat memelihara perdamaian di dunia, mempromosikan, dan melindungi hak azasi manusia, demokrasi,dan jauh dari pertengkaran, terkait dengan prinsip tidak mengancam atau menggunakan kekuatan terhadap integritas territorial atau independensi politis, serta respek terhadap kesengsaraan sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB, merupakan factor penting dalam memajukan kaum perempuan.
o Perempuan dan ekonomiAda perbedaan perbedaan yang dapat dipertimbangkan antara perempuan dan laki laki dalam mengakses pelbagai kesempatan terhadap kekuatan struktur ekonomi dalam masyarakatnya. Di banyak belahan dunia, secara virtual perempuan absent atau dimiskinkan keterwakilannya dalam pengambilan keputusan ekonomi, termasuk dalam memformulasikan masalah keuangan, moneter, komersil, dan kebijakan ekonomi lainnya, demikian juga dalam penentuan system perpajakan dan aturan penggajian.
o Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusanDeklarasi universaltentang hak azasi manuzia menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang samauntuk ambil bagian Pemerintahan negerinya. Pemberdayaan dan otonomi perempuan dan perbaikan status social,ekonomi, dan politis merupakan hal yang esensial bagi pencapaian baik transparansi, dan akuntabilitas pemerintahan, serta pengadministrasin dan keberlanjutan pembangunan di berbagai bidang kehidupan.
o Mekanisme kelembagaan bagi pemajuan perempuan
Keseluruhan niat baik untuk memajukan perempuan tidak akan berarti banyak bila tidak disertai dengan membenahi kelembagaan yang ada di masyarakat baik di kalangan pemerintahan maupun lembaga non pemerintah. Penginternalisasian pengarusutamaan gender harus dilaksanakan secara bertahap dan kontinu, sehingga memenuhi seluruh bidang kehidupan.
o Hak azasi perempuanHak azasi dan kebesan/kemerdekaan fundamental adalah hak lahir dari segenap insan, perlindungan dan promosi terhadap mereka tanggungjawab pertama dari Pemerintah. Landasan aksi (platform for actions) ditegaskan lagi bahwa seluruh hak azasi manusia –kewarganegaraan, budaya, ekonomi, politik, social, termasukhak terhadap pembangunan merupakan hal yang universal, tak dapat dibagi, saling tergantung, dan saling berhubungan, sebagaimana diekspresikan dalam Deklarasi Vienna dan Program aksi yangdiadopsi dari Konferensi Dunia tentang Hak Azasi Manusia.
o Perempuan dan media Sepanjang decade terakhir, kemajuan di bidang teknologi informasi telah memfasilitasi jaringan komunikasi global yang melampaui batas wilayah nasional dan telah berdampak pada kebijakan public, perilaku pribadi, anak anak dan mereka yang beranjak dewasa. Dimanapun potensi muncul untuk media guna membuat kontribusi yang jauh lebih besar bagi kemajuan kaum perempuan.
o Perempuan dan lingkungan
Persentuhan perempuan dengan lingkungan (alam) usianya seumur manusia itu sendiri, bahkan merekalah yang tetap tabah ‘menafkahi’ keluarga mereka dari apa yang tersedia di alam, ketika alam masih bersedia memberi, demikian pula ketika alam menderita, perempuan pun ikut menderita bersama alam. Oleh karena itu, posisi perempuan terhadap lingkungan bisa dilihat sebagai pemanfaat maupun pengguna atau konsumen dari lingkungan alam (sumberdaya alam).
o Anak perempuan Konvensi tentang hak anak menyadari bahwa “Pertemuan negara Negara akan memberi respek dan menjamin bahwa hak azasi anak perempuan tersebut akan diset dalam Konvensi yang sedang berjalan terhadap setiap anak dalam yurisdiksi tanpa diskriminasi apapun, terlepas dari anak itu sendiri, orang tuanya, atau pelindung resmi yang membesarkannya, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa,politik, atau opini lainnya, kebangsaan , etnis atau daerah asal, kecacatan, kepemilikan, maupun status kelahiran".
Statistik dan Indikator Gender

Guna melengkapi ketajaman analisis, kita tidak bisa melupakan alat ukur agar dapat mengetahui seberapa dalam atau luas permasalahan gender yang berkembang di masyarakat, seberapa berat hambatan yang harus diretas dan sebagainya.Alat tersebut adalah statistik dan indikator. Statistik adalah perasan dari agregasi data yang telah diolah sehingga bisa menceritakan tentang sesuatu. Biasanay statistik ini berisi tentang gambaran kecenderungan,sebaran, keragaman, proporsi, atau perbandingan (rasio). Sedangkan indikator adalah alat penunjuk tentang besaran, ragam, sebaran, pengelompokan dari fenomena yang terjadi. Biasanay sebuah indikator bisa dibangunoleh satu atau lebih statistik. Ukuran yang lebih agregat lagi adalah indeks. Ukuran ini biasanya lebih disukai oleh para pengambil keputusan dalam menelaah fenomena yang terjadi dan akan ditetapkan cara penanggulangannya. Indeks yang cukupdikenal adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indek Pemberdayaan Gender Gender Empowerment Index) , atau Indeks Pembangunan Gender (Gender Development Index). Indeks ini biasanya disusun oleh satu atau lebih indikator. Sebagaicontoh IPM terbentuk dari indikator indikator berupa, angka harapan hidup, purchasing power parity (paritas daya beli), angka melek huruf dewasa, dan rata-rata lamanya bersekolah.
Persyaratan Statistik atau Indikator

Statistik adalah “sari” dari sekumpulan data yang menunjukkan kadar tertentu dari fenomena yang ingin digambarkan oleh sekumpulan data tersebut. Ia biasanya bisa berbentuk nilai rata-rata (ukur, letak, paling), rasio (perbandingan dua buah nilai yang berbeda),proporsi (perbandingan dari nilai sebagian dari kelompok terhadap nilai dari seluruh kelompok itu), atau persentase (nilai perbandingan yang sama dengan proporsi, namun diungkapkan dalam satuan 100). Selain ukuran tersebut di dalam statistik juga dikenal ukuran keragaman, seperti varians, simpangan baku, atau ukuran korelasi/hubungan seperti koefisien korelasi, koefisien asosiasi, atau koefisien determinasi, yang bentuknya berupa nilai rasio. Sedangkan indikator didefinisikan sebagai cara untuk mengukur; petunjuk; alat untuk menunjukkan seberapa tepatnya suatu kondisi; sesuatu yang dapat memberi tanda, simptom, atau indeks; sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan kondisi suatu sistem; yang biasanya berupa nilai yang dapat terbentuk oleh satu atau beberapa statistik.
Di dalam berbagai kerangka pikir (framework) analisis guna menyusun suatu bahan telaah bagi masukan kebijakan, statistik dan indikator biasanya dibekali beberapa persyaratan yaitu:
· Datanya tersedia: ini berarti bila ingin menghitung statistik atau indikator datanya tidak perlu dikumpulkan terlebih dahulu melalui survei atau cara pengumpulan data lainnya, tetapi cukup menghitung dari data yang sudah tersedia saja;
· Mudah dihitung: indikator yang akan dibuat hendaknya tidak menggunakan rumusan yang rumit dan secara konsepsional tehniknya sudah tersedia, serta waktu dan logistiknya mendukung;
· Relevan: indikator yang kan dibuat hendaknya relevan dengan permasalahan atau fenomena yang ingin digambarkan;
· Mudah dimengerti: artinya jelas, sederhana, tidak berdwiarti, dapat direalisasikan dengan kapasitas aparat yang ada;
· Mewakili konsensus internasional: sedapat mungkin indikator yang disusun dapat mengadop berbagai permasalahan terkait di tingkat internasional agar dapat dibandingkan;
Cakupannya nasional: meskipun otonomi daerah akan diberlakukan, sebaiknya indikator yang disusun tidak hanya dapat mencerminkan kondisi regional/daerah tetapi juga gambaran nasional.
Tanpa mengurangi arti Statistik dan Indikator Gender yang Petunjuknya telahdibuat oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, pada lampiran makalah ini dapat dipelajari lebih jauh tentang indikator gender yang dingkat dari Beijing Conference pada 1995 yang lalu, yang sampai sekarang masih tetap relevan.

Penutup

Menyiapkan analisis yang komprehensif merupakan hal yang ideal naumn membutuhkan analis spesialis yang duduk bersama. Menyusun analisis fokus pada topik tertentu akan membuat analisis akanmenjadi lebih tajam. Namun itu semua tidak bisa kita lakukan bila data untuk analisis tersebut tidak tersedia atau tersedia dalam jumlah yang tidak memadai. Di atas segalanya, bila menunggu data lengkap baru bergerak, bukanlah tindakan yang bijak, oleh karena bekerja sambil belajar, dan mengumpulkan data secara bertahap adalah langkah yang cerdas.

Referensi
BPS, (1995), “Penelitian Kebutuhan Data Statistik dalam Pembangunan Berwawasan Jender”;
Canadian Council for Internasional Co-operation, MATCH International Center, (1991), “TWO HALVES MAKE A WHOLE: Balancing Gender Relations in Development”;
ECOSOC, (2000), “Summary of the Women Watch Online Working Groups on 12 Critical Areas of Concern”, Advance, unedited version, E/CN.6/2000/PC/CRP.1;
Frank, S. J. & Leroy, O.S.(1999), “Conceptual Issues, Technical Problems, andStatistical Integration Questions in Work on Gender Equality Indicators”,Canada.
Haris Munandar, Editor, (1994), ”Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia” Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiarjo, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Johnny Anwar, ZS, (2000), “Statistik dan Indikator Jender di Bidang Ketenagakerjaan,” Disampaikan dalam rangka penyelenggaraan Bimbingan Teknis Pengembangan Wawasan Jender dalam Implementasi Program dan Proyek Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja RI, Badan Perencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, 24 Nopember 2000 di Hotel Griya Astuti, Cisarua, Bogor.
Johnny Anwar, ZS, (2002), “PERAN PEREMPUAN dalam PENGELOLAAN LINGKUNGAN”, Disampaikan dalam Training on Gender and Analyses Statistics, Lenteng Agung, Jakarta Timur, 121 – 24 Januari 2002.
Mansour Fakih, DR., (1996), ”Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, Pustaka Pelajar.
Tony, B.(1999), “Using Gender-Sensitive Indicators: A Reference Manual forGovernments and Other Stakeholders”, London: CommonwealthSecretariat.
United Nations(1975), “Towards A System of Social And Demographic Statistics”, St\Stat 18, New York.
United Nations (1984), “Improving Concepts And Methods For Statistics And Indicators OnThe Situation Of Wome”n.
UN Division for the Advancement of Women (1996), Fact Sheet on Women inGovernment.
UNESCAP, (2002), ,”Framework for gender indicators: Table of Indicators” Hasil Expert Group Meeting on Regional Implementation and Monitoring of the Beijing Platform for Action and the Outcome of the 23rdSpecial Session of the General Assembly2-4 December 2002Bangkok
UNICEF, (1999), “Women in Transition”, The MONEE Project, CEE/CIS/Baltics, Regional Monitoring Report – No. 6 – 1999, Italy.
Penyediaan Data bagi Pemantauan Kondisi Lingkungan Hidup
Oleh: Johnny Anwar ZS

Pendahuluan

Apapun yang ada di alam raya ini akan selalu berubah. Itu adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu upaya untuk merekam dan mencatat merupakan upaya yang bijak, agar selalu siap menghadapi kenyataan yang datang. Dalam konteks ini, menarik untuk disimak, komentar Menteri Negara Lingkungan Hidup negeri tercinta ini terhadap data panel yang dikeluarkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)di sela peluncuran Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2006. pada hari Rabu 12 September 2007 (Kompas 13/09/2007) lalu. Ketika menyoroti data panel ahli perubahan iklim tersebut beliau merasa kurang puas karena melihat posisi Indonesia berada dalam 3 besar Negara pembuang emisi terbesar di bawah AS dan Cina. Beliau meminta mereka menunjukkan berapa besar emisi dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia dan di mana saja? Ternyata, menurut beliau, mereka tidak dapat menunjukkan.

Dari peristiwa di atas ada 2 hal yang menggelitik bisa kita diskusikan: Pertama, kita tidak boleh sekedar tidak puas pada karya orang lain, tanpa dapat mengajukan informasi hasil penelitian tandingan. Dan kedua, kita harus banyak banyak introspeksi terhadap semua kegiatan yang selama ini kita lakukan, apakah kita telah melaksanakan sustainable development, seperti yang telah ditandangani konvensinya oleh Presiden Suharto pada Earth Summit di Rio de Janeiro – Brazil, tahun 1992, atas nama bangsa ini?

Untuk perkara pertama, sebenarnya Pak Menteri harus melakukan kilas balik terhadap upaya upaya yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Ketika zaman Prof. Emil Salim menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup, telah banyak upaya dilakukan untuk memantau kondisi lingkungan. Pertama beliau lakukan dengan membagi bidang tugas antara administrative dan teknis lingkungan pada dua lembaga yaitu Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengawasan Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
Lembaga yang pertama lebih berkonsentrasi pada urusan urusan administrasi pembangunan lingkungan, sedangkan yang kedua menangani masalah lingkungannya, termasuk di dalamnya mengurusi penyediaan data lingkungan (yang sangat bersifat teknis – diperoleh dengan cara mengukur ambient lingkungan lewat medianya).

NKLD dan Kalpataru

Kementerian Lingkungan Hidup yang nota bene mengurusi soal administrasi pembangunan lingkungan, yang di antaranya termasuk melakukan koordinasi dengan instansi teknis terkait, juga tidak abai terhadap ketersediaan data lingkungan. Untuk itu, ada beberapa upaya yang pernah dirintis, di antaranya menyiapkan pedoman penyusunan data lingkungan bagi daerah (propinsi pada tahun 1991 maupun kabupaten pada tahun 1995). Alat tersebut adalah Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Untuk men-encourage Pemerintah Daerah (Pemda) (ketika program ini diluncurkan pertama kali) menyusun NKLD Provinsi, setelah para stakeholdernya (Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup – BKLH, BPS Provinsi, dan Bappeda) dilatih, KLH memberikan insentif (berupa gelar juara) pada 3 Provinsi penyusun NKLD terbaik. Dengan harapan,pada awalnya Pemda concern melihat, memantau dan mengevaluasi kondisi lingkungannya melalui data. Setelah itu diharapkan ada upaya konkrit untuk menyusun berbagai program pembangunan yang peduli lingkungan (environmentally sound), dan pada gilirannya akan menjaga lingkungan menjadi tetap lestari meski “dihujani” oleh berbagai kegiatan pembangunan. Pengumpulan data untuk NKLD tersebut dikoordinir oleh Bappeda, dan datanya dikumpulkan dari semua Dinas/Kantor/Badan terkait di provinsi yang bersangkutan dan selanjutnya dikompilasi oleh BPS Provinsi dan diverifikasi bersama dengan BKLH.

Pada tahun 1995, karena adanya permintaan untuk dapat juga memantau kondisi lingkungan pada lingkup pemerintahan yang lebih kecil, dalam hal ini kabupaten/kota, maka disusunlah Pedoman Penyusunan NKLD tingkat Kabupaten/Kota(madya). Pedoman ini dilatihkan juga pada 3 stakeholder utama (Bappeda Ka/Kota, BPS Kab/Kota, dan Bag Lingkungan Hidup). Untuk level wilayah ini juga diperlakukan hal yang sama bagi para penyusun terbaiknya sebagai apresiasi.

Sejalan dengan penyusunan NKLD, KLH juga punya alat lain yang lebih bernuansa kualitatif,yaitu pemberian Tropi Kalpataru bagi anggota masyarakat yang peduli lingkungan melalui upayanya yang dilakukan dalam melestarikan lingkungan. Kegiatan ini juga menghasilkan data, meski bersifat kualitatif. Sehingga paling tidak, kita dapat mengetahui sudah berapa jauh kepedulian lingkungan ini tersebar, lewat indikasi penerima Kalpataru yang tersebar di seluruh Nusantara tersebut dan apa jenis upaya yang mereka lakukan guna menjaga media lingkungan.

PSI, Prokasih, dan Adipura

Di tempat yang lain, BAPEDAL, selain mengumpulkan data kualitas udara melalui alat ukur (Polutant Standard Index – PSI) yang dipasang tersebar di berbagai provinsi utama (dominan sumber pencemarnya, seperti ibukota ibukota propinsi di Pulau Jawa, Medan, dan Makassar). Khusus untuk DKI Jakarta (karena begitu padatnya kendaraan bermotor), alat tersebut dipasang di beberapa tempat yang diduga tinggi tingkat pencemaran udaranya. Alat tersebut ada yang permanen dipasang dan adapula yang mobile. Keseluruhan alat ini mempunyai link dengan pusatnya yaitu BAPEDAL. Selain data tentang kualitas udara, BAPEDAL juga mengumpulkan data tentang kualitas air, khususnya air sungai. Untuk itu diterbitkanlah Program Kali Bersih (PROKASIH),yang bertujuan tidak hanya mengumpulkan datanya tetapi juga mendorong pelbagai industri yang membuang limbahnya ke sungai untuk sadar agar menerapkan clean development mechanism (CDM) pada produksinya. Kegiatan ini menghasilkan data tentang pencemaran air melalui, paling tidak 2 indikator utama yaitu kadar Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD), selain kadar pH.

Sementara itu, terkait kebersihan lingkungan permukiman, BAPEDAL meluncurkan Program ADIPURA (Program Kota Bersih). Dalam program ini kota kota besar,menengah dan kecil dinilai tingkat kebersihannya melalui seperangkat data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait di kabupaten/kota yang bersangkutan, di samping data hasil pengamatan langsung dari tim yang diturunkan oleh KLH. Ada beragam data kegiatan pembangunan yang dihasilkan oleh program ini, Cuma sayangnya datanya tidak diolah dan dikemas dengan baik dibanding PROKASIH, apalagi NKLD.

Beberapa program di atas mengalami berbagai “penyesuaian” seiring pergantian Menteri dan komponen pejabat eselon I di KLH. Di zaman Sarwono Kusumaatmadja ditunjuk sebagai nakhkoda baru di KLH, kebijakan baru muncul untuk mencabut urusan pemantauan masalah kependudukan dari KLH. Akibatnya NKLD bertukar kepanjangan menjadi Neraca Kualitas Lingkungan Hidup, namun secara teknis ide dasar penganalisaannya masih tidak berubah yakni untuk melihat dampak dari berbagai upaya yang di lakukan manusia lewat pembangunan yang dilakukannya di satu sisi, dengan kondisi lingkungan yang ada sebagai akibat dari berbagai kegiatan manusia tersebut. Akibatnya juga outline/tata susunan pengelompokan datanya pun tidak berubah yaitu Demografi, Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk, Sumber Pencemaran, dan Sumberdaya Alam.

Di zaman Panangian Simanungkalit menjadi Menteri Lingkungan Hidup, Bapedal dibubarkan, sebagian personilnya disatukan ke dalam KLH, namun banyak kegiatan teknis yang terlantar, bila tidak ingin disebut dihilangkan. Akibatnya, data Prokasih menjadi tidak dikelola secara baik (meski dahulu pun di zaman Sarwono belum baik), demikan juga data Program Adipura. Di bagian lain, untuk menyesuaikan dengan sikap politik para birokrat baru dan wacana yang berkembang, outline NKLD yang ada dianggap perlu disesuaikan. Ketika itu, sudah mulai berkembang secara lebih mature pembagian lingkungan ke dalam tiga bidang (meski sudah mulai dibicarakan di zaman Sarwono) yaitu Lingkungan Sosial, Lingkungan Buatan, dan Lingkungan Alam. Proses ini bermuara pada disusunnya Pedoman NKLD Baru dengan pengelompokan data sesuai pembagian lingkungan tersebut. Seiring dengan itu KLH menerbitkan State of Environment Report (SoER) atas nama Status Lingkungan Hidup Indonesia. Sumber data dari terbitan baru ini berasal dari berbagai sumber terutama Statistik Lingkungan Hidup Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS, dengan nuansa penulisan yang berbeda, yaitu lebih ke arah kebijakan. Dan untuk melanjutkan program Prokasih yang sempat terbengkalai KLH menerbitkan program dengan nama PROPER yaitu program yang mengukur kinerja industri dalam rangka CDM lewat buangan/emisinya ke badan air. Pada prinsipnya program ini sama dengan saudara tuanya, namun karena menterinya ganti dan pengelolanya juga ganti, maka berganti pulalah namanya.

Pemantauan Kondisi Lingkungan di Zaman Otonomi

Ketika zaman berganti, pembangunan lebih dikonsentrasi pengelolaannya ke tangan daerah, dalam hal ini kabupaten/kota, berbagai program pengumpulan data dari Pemerintah Pusat mengalami kemacetan yangsangat berarti. Ini dirasakan oleh semua instansi di tingkat Pusat termasuk KLH, maupun di tingkat propinsi. Pelaporan data yang semula mengalir lancar dari kabupaten/kota menjadi macet sama sekali Pemerintah Kabupaten/Kota merasa “tidak perlu mendengar” lagi instansi di atasnya, kecuali persoalan anggaran, apalagi harus mengurusi maslah pendataan, termasukdata lingkungan hidup. Sebaliknya, secara ekstrim mereka berlomba mengeksploitasi sumberdaya alamnya tanpa memikirkan kondisi alam di kemudian hari (unsustainably exploited) Akibatnya, yang paling terasa kondisi alam bertambah parah, sementara kita semua tidak tau seberapa parah kerusakannya, karena tidak ada data yang dihasilkan. Tinggallah kita “berserah diri”pada hasil pemantauan alat pemantau dan perekam data lembaga asing. Inilah yang terjadi, dan akhirnya bermuara pada protes sang Menteri pada lembaga asing, yang merasa pengukurannya juga credible, dan berbuntut pada permintaan konfirmasi oleh Presiden SBY di New York pada lembaga pemantau tersebut via Sekjen PBB, ketika mengikuti Sidang PBB beberapa waktu yang lalu. Ini pula yang menjadi poin kedua dari bahasan kita, yang intinya berbagai kegiatan kita dalam membangun negeri ini masih jauh dari sustainable, melainkan semakin dekat ke pelanggengan tindakan yang destruktif.

Penutup

Semestinya, pihak KLH mulai menghidupkan lagi upaya pemantauan lingkungan, bisa dengan alat dan pedoman yang sudah ada, atau menciptakan yang lebih baru, sehingga secara metodologis data yang dihasilakn relative dapat dibandingkan, seperti hampir pada sebagian besar data NKLD di masa lalu. Upaya itu tentunya disesuaikan dengan iklim pembangunan yang berlaku sekarang, yaitu iklim desentralisasi atau otonomi, namun tetap dengan kekokohan system yang dibangundalam pedoman pemantauan yang mengarah pada Sistem Informasi Lingkungan yang Terpadu,yang bukan hanya di atas kertas, tetapi diimplementasikan secara terencana, bertahap, komprehensif, dan mengikat seluruh stakeholder lingkungan. Segenap aparat terkait lingkungan di daerah bias dilibatkan menurut porsi dan perannya masing masing, dan mulailah dari sekarang untuk mulai mencatat berbagai kegiatan yang dilakukan, kemudian merekapitulasikannya sehingga bisa memperoleh gambaran per periode yang diinginkan, apakah itu mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan. Jangan hanya sekedar menyusun Rencana Aksi (Plan of Actions) yang tahapan pencapaiannya sukar terdeteksi (intangible), karena tidak didukung oleh data yang lebih memadai. Ajak dan beri insentif semua pihak untuk mau mencatat agar kondisi lingkungan data terpantau secara periodic, selain tentunya memberikan berbagai pemahaman dan “ancaman’, agar semua pihak paham dan mengerti, lantas bertindak secara taat azas lingkungan. Semoga saja TUHAN masih menyayangi bangsa ini.
[1] Pengamat lingkungan dan anggota International Environment Statistician, sekarang bekerja di BPS Kalimantan Timur

Jumat, 27 Juni 2008


Kemanakah air kita?
Oleh: Johnny Anwar ZS

BILA 2007 lalu tema peringatan Hari Air Sedunia mengangkat masalah kelangkaan air, maka pada tanggal 22 Maret 2008 Badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang menangani program lingkungan hidup, United Nation Programmes (UNEP) mengintegrasikan peringatan ini dengan Tahun Internasional Sanitasi. Hal Ini diangkat untuk mengkritik kegagalan negara-negara di dunia dalam menyelesaikan kesenjangan political will mereka dalam menyediakan sanitasi yang baik bagi masyarakat. Ini dimaksudkan untuk memacu aksi dalam menangani krisis air yang mempengaruhi satu dari tiga orang di planet ini.

Setiap 20 detik, seorang anak mati akibat kondisi sanitasi yang bukan alang kepalang buruknya yang berlangsung lama “dinikmati” oleh 2,6 triliun orang dimuka bumi ini. Ini akan menambah banyak pemotongan kesempatan hidup 1,5 juta kamu belia di dunia karena kita tidak tahu atau tidak mau peduli untuk mencegahnya.

Sanitasi yang miskin bersama dengan kelangkaan air minum yang aman serta ketidakhigienan memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap kematian korban kematian global yang mengerikan. Mereka yang selamat menghadapi kesempatan hidup sehat dan produktif yang berkurang. Anak-anak, khususnya perempuan terpaksa harus keluar dari sekolah dan sementara karena berkaitan dengan higinitas terhadap penyakit, orang dewasa tidak dapat melakukan pekerjaan yang produktif.

Di Indonesia yang relatif kaya dengan sumber air juga tidak terhindar dengan krisis ini. Hal itu tidak hanya disebabkan oleh karena kita semua hanya memandang air sebagai fasilitas yang disediakan TUHAN semata, bukan sebagai bagian dari hidup kita, sehingga kita selalu beranggapan bahwa masalah ini lebih merupakan urusan TUHAN, bukan urusan manusia. Sungguh ironis cara pandang seperti ini, ketika kita justru dijadikan khalifah di muka bumi ini untuk menjaga segala milik TUHAN yang diamanahkan kepada kita sekalian.

Yang kita lakukan.selama ini, atas nama hidup kita sendiri,adalah mengharap daerah tangkapan air di hulu,menebang pepohonan,menutup daerah aliran dan resapan air baik untuk keperluan penambahan stok pangan,stok tempat tinggal,stok wilayah bisnis dan belanja,tempat wisata, keperluan penambangan.

Semua itu tidaklah dilarang oleh ALLAH AZZA WA JALLA karena memang ALLAH memberikan alam raya ini untuk kita manfaatkan dan kelola bagi kemaslahatan kita sendiri umat manusia.Namun untuk dapat menikmatinya dalam jangka waktu yang lama (sustainable) kita harus tahu cara mengelolanya.Inilah sebenarnya menjadi dasar dari kerangka kerja pembangunan berkelanjutan (sustainable development framework).

Sayangnya meski sudah dikrakkan bersama oleh para pemimpin dunia yang nota bene mewakili anak bangsanya,pekerjaan ini hanya tinggal sebagai retorika penghias bibir,penarik voter,dan penarikan modal,setelah itu semua diperoleh,pekerjaan tak pernah kunjung dilaksanakan secara berkelanjutan.

Hasil studi di Berazil, yang merupakan wilayah pemilik hutan tropis terbesar di Indonesia, menunjukkan bahwa temperatu di daerah aliran sungai (DAS) Amazon, meningkat sampai 8oC, yang secara dramatis mengubah arus dari salah satu sistem air tawar dunia. Jadi, jika kita ingin mengabaikan “kelangkaan air” sebagia tema permanen di abad 21 ini, maka bagian besar dari solusinya adalah kita harus memotong sebesar 60 sampai 80 persen emisi gas rumah kaca (catchment area) perlu dupelihara (bila masih ada) dan dibangun dengan teknologi akrab lingkungan (bila masih ada).

Apa yang terlihat dalam negeri kita sekarang ? luas dearah aliran sungai menjadi semakin sempit hanya merentang dari 1.012 km2 (di Sungai Serdang- Sumatra Utara) hingga hanya 14.175 km2 (di Sungai Pandut, Palangkaraya). Rata-rata bersarnya aliran pun sudah banyak menurun hanya berkisar antara 19.81 m3/detik di Sungai Gambus, Deli Serdang hingga 2.892 m3/detik di Sungai Batanghari.

1 Pemerhati Lingkungan hidup, Alumnus Collage Of Environment Statistics, Wiesbaden-frankfurt, jerman, Kini bekerja di BPS Kalimantan Timur.

Jambi. Volume air di sungai-sungai di negeri tercinta inipun menyusut, kini berkisar antara 521x106 m3di Sungai Bingei, Langkat hingga 91.440x106 m3 di Sungai Batanahari, Jambi. Itu baru volume sebagai air permukaan (surface water), belum belum lagi menyusutnya air tanah dalam di akuifer-akuifer air yang adadi pelbagai pulau yang terus menyusut, baik akibat peralihan fungsi lahan maupun tekanan pembangunan infastruktur fisik yang tidak akrab lingkungan (sound sustainable).

Sementara itu, dari segi senitasi juga memberikan gambaran yang tidak mengenakkan, Di Seluruh Indonesia masi ada 20.24 persen rumahtangga yang mengkonsum air yang itdak higien (mata air dan sumur tak terlindung, air sungai, dsb). Sementara di Kelimantan Timur, propinsi nomor tiga terkaya di Indonesia, ada 30.21 persen rumahtangga yang mengkonsum air dari sumber air minum yang serupa (tidak higien).

Sementara itu, yang mengkonsum air tanah, seperti di ambil dari pompa, sumur, atau matair, 39.31 persen rumahtangga yang mempunyai sumber air yang jaraknya tidak aman (<10)>

Kondisi seperti menurut perhatian kita bersama, baik di tingkat internasional, regional, nasional, maupun local. Dengan cara yang paling sederhana di mula dari diri kita sendiri kita harus menjaga sanitasi lingkungan agar air kita tidak hanya cukup, tetapi juga aman :

1. Jagalah tempat penyipanan air yang tidak merusak / mencemarinya

2. Jauhkan sumbernya dari sumber yang berbahaya / beracun (septic tank dsb)

3. Jagalah air tempat mandi, kolam renang/tempat rekreasi jangan sampai bersentuhan dengan zat yang dapat mengkontaminasi

4. Olah/gunakan kembali/daur ulang limbah padat di rumah anda:

5. Alirkan da buang limbah cair anda ke tempat yang aman, bila anda tidak mempu medaur atau menggunakannya kembali

6. Kumpulkan dan olah limbah industry anda

7. Kelola limbah B3 and (seperti limbah rumah sakit, bahan kimia, beracu, radio aktif, dsb)

8. Pelihara dan jaga daerah tangkapan air di sekitar anda

9. Kurangi penebangan pepohonan yang membahayakan daerah tahanan dan tangkapan air, di daerah hulu sungai

10. Perhatikan betul pembangunan dan pemeliharaan sistem drainage kota(termasuk di kiri-kanan jalan)

11. Atur dengan baik peralihan fungsi lahan, sehingga memperhitungkan jalan air dan ketersediannya

12. Ukur dengan betul dan pantau terus pemakaian air tanah dalam(terutama untuk gedung-gedung bertingkat dan industri), sehingga stoknya terkontrol.

Demikian beberapa langkah sederhana yang paling mungkin kita lakukan dalam waktu dekat ini,agar kondisi tragis yang menghadang dimuka kita,dapat kita antisipasi dengan baik.Semoga kita semua dapat menjadi khalifah yang amanah di bumi yang ALLAH amanatkan kepada kita sekalian.Amin,ya rabbal alamin!!!