Minggu, 29 Juni 2008

Penyediaan Data bagi Pemantauan Kondisi Lingkungan Hidup
Oleh: Johnny Anwar ZS

Pendahuluan

Apapun yang ada di alam raya ini akan selalu berubah. Itu adalah sebuah keniscayaan. Oleh karena itu upaya untuk merekam dan mencatat merupakan upaya yang bijak, agar selalu siap menghadapi kenyataan yang datang. Dalam konteks ini, menarik untuk disimak, komentar Menteri Negara Lingkungan Hidup negeri tercinta ini terhadap data panel yang dikeluarkan oleh Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC)di sela peluncuran Buku Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2006. pada hari Rabu 12 September 2007 (Kompas 13/09/2007) lalu. Ketika menyoroti data panel ahli perubahan iklim tersebut beliau merasa kurang puas karena melihat posisi Indonesia berada dalam 3 besar Negara pembuang emisi terbesar di bawah AS dan Cina. Beliau meminta mereka menunjukkan berapa besar emisi dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia dan di mana saja? Ternyata, menurut beliau, mereka tidak dapat menunjukkan.

Dari peristiwa di atas ada 2 hal yang menggelitik bisa kita diskusikan: Pertama, kita tidak boleh sekedar tidak puas pada karya orang lain, tanpa dapat mengajukan informasi hasil penelitian tandingan. Dan kedua, kita harus banyak banyak introspeksi terhadap semua kegiatan yang selama ini kita lakukan, apakah kita telah melaksanakan sustainable development, seperti yang telah ditandangani konvensinya oleh Presiden Suharto pada Earth Summit di Rio de Janeiro – Brazil, tahun 1992, atas nama bangsa ini?

Untuk perkara pertama, sebenarnya Pak Menteri harus melakukan kilas balik terhadap upaya upaya yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Ketika zaman Prof. Emil Salim menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup, telah banyak upaya dilakukan untuk memantau kondisi lingkungan. Pertama beliau lakukan dengan membagi bidang tugas antara administrative dan teknis lingkungan pada dua lembaga yaitu Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Badan Pengawasan Dampak Lingkungan (BAPEDAL).
Lembaga yang pertama lebih berkonsentrasi pada urusan urusan administrasi pembangunan lingkungan, sedangkan yang kedua menangani masalah lingkungannya, termasuk di dalamnya mengurusi penyediaan data lingkungan (yang sangat bersifat teknis – diperoleh dengan cara mengukur ambient lingkungan lewat medianya).

NKLD dan Kalpataru

Kementerian Lingkungan Hidup yang nota bene mengurusi soal administrasi pembangunan lingkungan, yang di antaranya termasuk melakukan koordinasi dengan instansi teknis terkait, juga tidak abai terhadap ketersediaan data lingkungan. Untuk itu, ada beberapa upaya yang pernah dirintis, di antaranya menyiapkan pedoman penyusunan data lingkungan bagi daerah (propinsi pada tahun 1991 maupun kabupaten pada tahun 1995). Alat tersebut adalah Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Untuk men-encourage Pemerintah Daerah (Pemda) (ketika program ini diluncurkan pertama kali) menyusun NKLD Provinsi, setelah para stakeholdernya (Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup – BKLH, BPS Provinsi, dan Bappeda) dilatih, KLH memberikan insentif (berupa gelar juara) pada 3 Provinsi penyusun NKLD terbaik. Dengan harapan,pada awalnya Pemda concern melihat, memantau dan mengevaluasi kondisi lingkungannya melalui data. Setelah itu diharapkan ada upaya konkrit untuk menyusun berbagai program pembangunan yang peduli lingkungan (environmentally sound), dan pada gilirannya akan menjaga lingkungan menjadi tetap lestari meski “dihujani” oleh berbagai kegiatan pembangunan. Pengumpulan data untuk NKLD tersebut dikoordinir oleh Bappeda, dan datanya dikumpulkan dari semua Dinas/Kantor/Badan terkait di provinsi yang bersangkutan dan selanjutnya dikompilasi oleh BPS Provinsi dan diverifikasi bersama dengan BKLH.

Pada tahun 1995, karena adanya permintaan untuk dapat juga memantau kondisi lingkungan pada lingkup pemerintahan yang lebih kecil, dalam hal ini kabupaten/kota, maka disusunlah Pedoman Penyusunan NKLD tingkat Kabupaten/Kota(madya). Pedoman ini dilatihkan juga pada 3 stakeholder utama (Bappeda Ka/Kota, BPS Kab/Kota, dan Bag Lingkungan Hidup). Untuk level wilayah ini juga diperlakukan hal yang sama bagi para penyusun terbaiknya sebagai apresiasi.

Sejalan dengan penyusunan NKLD, KLH juga punya alat lain yang lebih bernuansa kualitatif,yaitu pemberian Tropi Kalpataru bagi anggota masyarakat yang peduli lingkungan melalui upayanya yang dilakukan dalam melestarikan lingkungan. Kegiatan ini juga menghasilkan data, meski bersifat kualitatif. Sehingga paling tidak, kita dapat mengetahui sudah berapa jauh kepedulian lingkungan ini tersebar, lewat indikasi penerima Kalpataru yang tersebar di seluruh Nusantara tersebut dan apa jenis upaya yang mereka lakukan guna menjaga media lingkungan.

PSI, Prokasih, dan Adipura

Di tempat yang lain, BAPEDAL, selain mengumpulkan data kualitas udara melalui alat ukur (Polutant Standard Index – PSI) yang dipasang tersebar di berbagai provinsi utama (dominan sumber pencemarnya, seperti ibukota ibukota propinsi di Pulau Jawa, Medan, dan Makassar). Khusus untuk DKI Jakarta (karena begitu padatnya kendaraan bermotor), alat tersebut dipasang di beberapa tempat yang diduga tinggi tingkat pencemaran udaranya. Alat tersebut ada yang permanen dipasang dan adapula yang mobile. Keseluruhan alat ini mempunyai link dengan pusatnya yaitu BAPEDAL. Selain data tentang kualitas udara, BAPEDAL juga mengumpulkan data tentang kualitas air, khususnya air sungai. Untuk itu diterbitkanlah Program Kali Bersih (PROKASIH),yang bertujuan tidak hanya mengumpulkan datanya tetapi juga mendorong pelbagai industri yang membuang limbahnya ke sungai untuk sadar agar menerapkan clean development mechanism (CDM) pada produksinya. Kegiatan ini menghasilkan data tentang pencemaran air melalui, paling tidak 2 indikator utama yaitu kadar Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD), selain kadar pH.

Sementara itu, terkait kebersihan lingkungan permukiman, BAPEDAL meluncurkan Program ADIPURA (Program Kota Bersih). Dalam program ini kota kota besar,menengah dan kecil dinilai tingkat kebersihannya melalui seperangkat data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait di kabupaten/kota yang bersangkutan, di samping data hasil pengamatan langsung dari tim yang diturunkan oleh KLH. Ada beragam data kegiatan pembangunan yang dihasilkan oleh program ini, Cuma sayangnya datanya tidak diolah dan dikemas dengan baik dibanding PROKASIH, apalagi NKLD.

Beberapa program di atas mengalami berbagai “penyesuaian” seiring pergantian Menteri dan komponen pejabat eselon I di KLH. Di zaman Sarwono Kusumaatmadja ditunjuk sebagai nakhkoda baru di KLH, kebijakan baru muncul untuk mencabut urusan pemantauan masalah kependudukan dari KLH. Akibatnya NKLD bertukar kepanjangan menjadi Neraca Kualitas Lingkungan Hidup, namun secara teknis ide dasar penganalisaannya masih tidak berubah yakni untuk melihat dampak dari berbagai upaya yang di lakukan manusia lewat pembangunan yang dilakukannya di satu sisi, dengan kondisi lingkungan yang ada sebagai akibat dari berbagai kegiatan manusia tersebut. Akibatnya juga outline/tata susunan pengelompokan datanya pun tidak berubah yaitu Demografi, Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk, Sumber Pencemaran, dan Sumberdaya Alam.

Di zaman Panangian Simanungkalit menjadi Menteri Lingkungan Hidup, Bapedal dibubarkan, sebagian personilnya disatukan ke dalam KLH, namun banyak kegiatan teknis yang terlantar, bila tidak ingin disebut dihilangkan. Akibatnya, data Prokasih menjadi tidak dikelola secara baik (meski dahulu pun di zaman Sarwono belum baik), demikan juga data Program Adipura. Di bagian lain, untuk menyesuaikan dengan sikap politik para birokrat baru dan wacana yang berkembang, outline NKLD yang ada dianggap perlu disesuaikan. Ketika itu, sudah mulai berkembang secara lebih mature pembagian lingkungan ke dalam tiga bidang (meski sudah mulai dibicarakan di zaman Sarwono) yaitu Lingkungan Sosial, Lingkungan Buatan, dan Lingkungan Alam. Proses ini bermuara pada disusunnya Pedoman NKLD Baru dengan pengelompokan data sesuai pembagian lingkungan tersebut. Seiring dengan itu KLH menerbitkan State of Environment Report (SoER) atas nama Status Lingkungan Hidup Indonesia. Sumber data dari terbitan baru ini berasal dari berbagai sumber terutama Statistik Lingkungan Hidup Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS, dengan nuansa penulisan yang berbeda, yaitu lebih ke arah kebijakan. Dan untuk melanjutkan program Prokasih yang sempat terbengkalai KLH menerbitkan program dengan nama PROPER yaitu program yang mengukur kinerja industri dalam rangka CDM lewat buangan/emisinya ke badan air. Pada prinsipnya program ini sama dengan saudara tuanya, namun karena menterinya ganti dan pengelolanya juga ganti, maka berganti pulalah namanya.

Pemantauan Kondisi Lingkungan di Zaman Otonomi

Ketika zaman berganti, pembangunan lebih dikonsentrasi pengelolaannya ke tangan daerah, dalam hal ini kabupaten/kota, berbagai program pengumpulan data dari Pemerintah Pusat mengalami kemacetan yangsangat berarti. Ini dirasakan oleh semua instansi di tingkat Pusat termasuk KLH, maupun di tingkat propinsi. Pelaporan data yang semula mengalir lancar dari kabupaten/kota menjadi macet sama sekali Pemerintah Kabupaten/Kota merasa “tidak perlu mendengar” lagi instansi di atasnya, kecuali persoalan anggaran, apalagi harus mengurusi maslah pendataan, termasukdata lingkungan hidup. Sebaliknya, secara ekstrim mereka berlomba mengeksploitasi sumberdaya alamnya tanpa memikirkan kondisi alam di kemudian hari (unsustainably exploited) Akibatnya, yang paling terasa kondisi alam bertambah parah, sementara kita semua tidak tau seberapa parah kerusakannya, karena tidak ada data yang dihasilkan. Tinggallah kita “berserah diri”pada hasil pemantauan alat pemantau dan perekam data lembaga asing. Inilah yang terjadi, dan akhirnya bermuara pada protes sang Menteri pada lembaga asing, yang merasa pengukurannya juga credible, dan berbuntut pada permintaan konfirmasi oleh Presiden SBY di New York pada lembaga pemantau tersebut via Sekjen PBB, ketika mengikuti Sidang PBB beberapa waktu yang lalu. Ini pula yang menjadi poin kedua dari bahasan kita, yang intinya berbagai kegiatan kita dalam membangun negeri ini masih jauh dari sustainable, melainkan semakin dekat ke pelanggengan tindakan yang destruktif.

Penutup

Semestinya, pihak KLH mulai menghidupkan lagi upaya pemantauan lingkungan, bisa dengan alat dan pedoman yang sudah ada, atau menciptakan yang lebih baru, sehingga secara metodologis data yang dihasilakn relative dapat dibandingkan, seperti hampir pada sebagian besar data NKLD di masa lalu. Upaya itu tentunya disesuaikan dengan iklim pembangunan yang berlaku sekarang, yaitu iklim desentralisasi atau otonomi, namun tetap dengan kekokohan system yang dibangundalam pedoman pemantauan yang mengarah pada Sistem Informasi Lingkungan yang Terpadu,yang bukan hanya di atas kertas, tetapi diimplementasikan secara terencana, bertahap, komprehensif, dan mengikat seluruh stakeholder lingkungan. Segenap aparat terkait lingkungan di daerah bias dilibatkan menurut porsi dan perannya masing masing, dan mulailah dari sekarang untuk mulai mencatat berbagai kegiatan yang dilakukan, kemudian merekapitulasikannya sehingga bisa memperoleh gambaran per periode yang diinginkan, apakah itu mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran atau tahunan. Jangan hanya sekedar menyusun Rencana Aksi (Plan of Actions) yang tahapan pencapaiannya sukar terdeteksi (intangible), karena tidak didukung oleh data yang lebih memadai. Ajak dan beri insentif semua pihak untuk mau mencatat agar kondisi lingkungan data terpantau secara periodic, selain tentunya memberikan berbagai pemahaman dan “ancaman’, agar semua pihak paham dan mengerti, lantas bertindak secara taat azas lingkungan. Semoga saja TUHAN masih menyayangi bangsa ini.
[1] Pengamat lingkungan dan anggota International Environment Statistician, sekarang bekerja di BPS Kalimantan Timur

Tidak ada komentar: